Jenis – jenis Sertifikat Kepemilikan Lahan
Kepastian hukum atas tanah atau rumah merupakan hal penting
yang perlu di perhatikan sebelum melakukan pembelian. Kejelasan akan status
hukum sebuah properti diperlukan apabila akan melakukan jual-beli, mendirikan
bangunan ataupun sebagai jaminan kredit di bank. Sebelum melakukan pembelian
properti, pastikan dahulu status hukumnya agar tidak terjadi masalah di
kemudian hari. Cara mengetahui status hukum suatu tanah atau rumah bisa dilihat
melalui kelengkapan-kelengkapan dokumennya, atau dengan meminta bantuan jasa
notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Berikut ini adalah jenis-jenis
status hukum atas kepemilikan lahan yang ada di Indonesia:
1. Girik
Girik sebenarnya bukan salah satu
jenis sertifikat properti. Girik adalah bukti surat pembayaran pajak atas suatu
lahan, yang merupakan bukti bahwa seseorang telah mengusai sebidang lahan.
Lahan dengan status girik adalah lahan bekas hak milik adat yang belum di
daftarkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jadi girik bukanlah merupakan
bukti kepemilikan hak, tetapi hanya merupakan bukti penguasaan atas suatu lahan
dan pembayaran pajak atas tanah tersebut. Girik tidak kuat status
hukumnya seperti sertifikat, tetapi girik bisa dijadikan dasar untuk membuat
sertifikat tanah. Jadi apabila akan mengadakan transaksi jual beli lahan girik,
harus dipastikan bahwa nama yang tertera di dalam dokumen girik tersebut harus
sama dengan nama yang tertera dalam akta jual beli. dibuktikan dengan dokumen
pendukung yang dapat diterima yang merupakan sejarah kepemilikan lahan
sebelumnya. Sejarah kepemilikan lahan diperlukan apabila ingin meningkatkat
status hukum suatu lahan menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) maupun
Sertifikat Hak Milik (SHM). Istilah Girik biasa dikenal dengan tanah adat,
petok, ricik, ketitir dan lain-lain.
2. Sertifikat Hak Guna Bangunan
(SHGB)
Sertifikat Hak Guna Bangunan adalah
jenis sertifikat dimana pemegang sertifikat hanya bisa memanfaatkan lahan
tersebut baik untuk mendirikan bangunan atau untuk keperluan lain dalam kurun
waktu tertentu. Untuk kepemilikan, lahannya dimiliki oleh negara. Sertifikat
Hak Guna Bangunan (SHGB) mempunyai batas waktu tertentu misalnya 30 tahun dan
dapat diperpanjang untuk waktu 20 tahun. Setelah melewati batas waktunya,
pemegang sertifikat harus mengurus perpanjangan SHGB-nya. Lahan dengan
status SHGB boleh dimiliki oleh non Warga Negara Indonesia (non WNI).
Lahan dengan status SHGB biasanya adalah lahan-lahan yang dikelola oleh developer
seperti perumahan atau apartemen,
tetapi juga tidak memungkiri juga untuk gedung perkantoran.
3. Sertifikat Hak Milik (SHM)
Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah
jenis sertifikat yang pemiliknya memiliki hak penuh atas kepemilikan suatu
lahan pada kawasan dengan luas tertentu yang telah disebutkan dalam
sertifikat tersebut. Status SHM adalah status yang paling kuat untuk
kepemilikan lahan karena lahan sudah menjadi milik seseorang tanpa campur
tangan ataupun kemungkinan pemilikan pihak lain. Status Hak Milik juga tidak
terbatas waktunya seperti Sertifikat hak Guna Bangunan. Melalui sertifikat ini,
pemilik bisa menggunakannya sebagai bukti kuat atas kepemilikan tanah, dengan
kata lain, bila terjadi masalah, maka nama yang tercantum dalam SHM adalah
pemilik sah berdasarkan hukum. Sertifikat Hak Milik (SHM) juga bisa
menjadi alat yang kuat untuk transaksi jual beli, atau juga jaminan kredit.
Proses mendapatkan sertifikat tanah melalui notaris/PPAT agar diuruskan ke
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dimana notaris lebih mengetahui seluk beluk dan
syarat pembuatan seritifikat tanah. Syarat masing-masing berbeda bila tanah
tersebut tanah hibah atau jual beli, tanah adat, tanah lelang, dan sebagainya.
Untuk Sertifikat Hak Milik hanya diberlakukan untuk Warga Negara Indonesia
(WNI) saja.
Selain 3 (tiga jenis) sertifikat
kepemilikan lahan diatas, ada beberapa status hak guna atas tanah dan
bangunan yang lain, seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (SHP) yang akan
dibahas di tulisan selanjutnya. Untuk Akta Jual Beli tidak dimasukkan didalam
jenis sertifikat kepemilikan karena AJB hanya merupakan bukti hukum telah
terjadi transaksi jual-beli antara dua belah pihak.